Soulmate

21.03 4 Comments

Sebuah kiriman cerpen dari Prafita Julia.


Terkadang aku tak paham dengan jalan takdir.

Terlalu berliku, membuatku hampir tersesat didalam hidupku sendiri, namun seringkali jalan terlalu mudah untuk aku tapaki. Sampai-sampai, aku jenuh untuk menjalaninya.

Mungkin itulah, mengapa ada yang bilang bahwa manusia selalu kurang puas terhadap hidup yang dijalaninya. Padahal, disetiap proses kehidupan itulah, manusia sering memiliki sebuah kenangan yang akan menjadi sebuah memori tak terhapuskan dihidupnya.

Sekecil apapun kejadian itu berlangsung, jangan sampai kita melewatinya. Karena, semua itu tidak akan pernah bisa kita putar ulang. Tidak pernah!
***

“Dinda..” panggilan mama terdengar ditelingaku. Namun itu hanya samar-samar. Karena aku masih terhanyut dalam mimpi indahku. Ketika aku bertemu dengannya.

“Ya ampun Dinda.. Ini udah siang! kamu mau berangkat sekolah ngga sih?” mama berteriak lagi. Kali ini aku mendengar suaranya kian mendekat. Dengan berat aku membuka mata, dan menghapus mimpi yang sedang terjadi didalam khayalanku. Aku terlonjak, saat melihat jam menunjukan waktu 7.00 pagi.

“Aaaaaaaaa, Dinda telat ma..”

“Dari tadi juga mama bangunin. Kamu sih tidurnya malem banget. Udah buruan mandi!”

Perintah mama dengan sigap aku laksanakan. Tanpa pikir panjang, aku mengambil handuk, mandi seadanya. Dan berangkat. Sampai-sampai aku tidak sarapan, bahkan yang lebih parah adalah aku lupa meminta uang jajan pada papa. Hari itu merupakan hari pertama aku terlambat kesekolah. Karena memang, aku adalah tipe orang yang suka datang sebelum jadwal itu ditentukan alias in time. Sesampainya di pagar sekolah, hatiku berkecamuk. Aku takut menghadapi guru BK yang terkenal killer disekolah. Memang, selama hampir 3 tahun aku bersekolah di SMA PERMATA BANGSA, aku belum pernah menginjakkan kakiku ke ruang yang mengerikan itu. Bagi kami, para siswa PB, ruang BK adalah ruang untuk siswa-siswi yang memang sudah menjadi buronan oleh Ibu Septi. Pak Bino sudah mengizinkan aku masuk kelingkungan sekolah, namun itu bukan berarti aku bisa langsung masuk kekelasku tercinta. Dengan hati-hati, aku mengetuk pintu ruang BK. Didalam ruangan itu, aku melihat sosoknya yang tengah duduk berhadapan dengan ibu Septi. Wajahnya tertunduk, menatap kosong lantai dibawah meja. Namun, aku masih bisa menangkap sinar dibalik kekosongan itu. Tiba-tiba, kakiku terasa kaku untuk melangkah kedalam.

“Kamu ngapain berdiri disitu aja, sini masuk.” Teguran Bu Septi membuyarkan kediamanku. Aku pun melangkah perlahan menuju tempat guru itu, dan kemudian duduk disampingnya.

“Kamu telat juga?” itulah pertanyaan pertama yang terlontar dari bibir Bu Septi. Aku hanya menunduk. Sama seperti yang dia lakukan. Namun, aku menunduk karena takut menatap mata guru killer didepanku itu. Dia mungkin tidak merasakan hal yang sama denganku. karena dia sudah bosan menerima wejangan setiap paginya dari orang yang sama pula. Aku tahu itu.

“Siapa nama kamu?” Bu Septi kembali bertanya padaku.

“Adinda Mayang Refaldi.” Suara itu terdengar bukan dari bibirku. Melainkan dari dia.

“Vino, saya nggak nanya sama kamu!”

“Saya cuma mau manggil nama dia aja, bu. Udah lama saya ngga panggil dia.” Vino menjawab teguran itu dengan santai. Aku masih diam. Memandang wajah dia yang ada disampingku.

“Bisa kasih saya alasan, kenapa kamu terlambat?” Tanpa menghiraukan jawaban Vino, Bu Septi kembali bertanya padaku.

“Maaf, tadi saya bangun kesiangan.” Alasan itu terlontar dari bibirku, kali ini.

“Saya tahu kamu bangun kesiangan. Kalo kamu bangun pagi, kamu nggak akan terlambat. Bisa kasih alasan yang logis?”

Sumpah. Baru kali itu rasanya, aku mengutuki guru yang ada didepanku. Sebelumnya, aku hanya mendengar gosip tentang Bu Septi yang sangat killer dari teman-temanku, yang memang pernah mendapat teguran darinya. Saat itu, aku bisa merasakan kerasnya degupan jantungku. Keringat dingin terasa mengalir didahiku. Bibirku kelu, untuk menjawab pertanyaan darinya.

“Dia baru kali ini dateng telat, dimaafin dong, Bu.” Vino lagi-lagi yang menjawabnya. Dan kali ini, dia memohon untukku.

“Kenapa dari tadi kamu yang jawab sih? Kamu pacarnya?” Bu Septi mungkin sudah kesal dengan tingkah Vino, yang memang kurang sopan.

“Bukan sih. Tapi dia mantan saya. Wajar dong saya belain. Ibu pernah muda juga kan?!”

“Kok kamu mau sih pacaran sama Vino? Udah nakal, nggak disiplin, nggak sopan lagi.” Bu Septi kembali bertanya. Atau mungkin menyatakan sesuatu. Karena pertanyaan itu sesungguhnya tidak perlu aku jawab. Dan aku hanya tersenyum, untuk menghargainya.

“Yasudah, kali ini saya maafin. Tapi besok-besok jangan diulangin ya.”

“Iya. Makasih bu.” Aku pamit keluar ruangan. Namun, Vino masih tetap duduk didepan guru BK itu.
***

Dia..
Seseorang yang aku sayangi, seseorang yang pernah mengisi hari-hariku dengan senyuman, seseorang yang selalu membuat jantungku berdegup kencang, seseorang yang misterius, seseorang yang sangat aku kagumi, dan seseorang yang selalu aku rindukan.
Dia adalah Vino..

“Hayooo.. pasti lagi ngelamunin Vino.” Ayu, sahabatku, tiba-tiba datang mengalihkan pikiranku.

“Yey, sok tau lo.”

“Tau dong. Ayu!”

Aku hanya mencibir melihat kenarsisan sahabatku yang satu ini. Ayu adalah sahabat karibku, sejak aku duduk dibangku kelas 1 SMA. Saat aku masih bersama Vino, Ayu selalu menjadi tempat curhatku. Ketika aku bahagia, ataupun ketika aku sedang bertengkar dengan Vino. Dan saat aku putus, Ayu selalu mencoba menghiburku. Tanpa bosan, tanpa mengeluh. Dia selalu setia disampingku, membangkitkan semanagtku lagi. Ayu sangat tau tentang perasaanku.

“Tadi gue ketemu Vino di BK” Aku memulai ceritaku.

“Terus?”

“Kenapa ya, dia bikin gue salah paham mulu.”

“Maksud lo?”

“Dia tadi yang jawab semua yang ditanyain Bu Septi ke gue. Bahkan dia bilang kalo dia mantan gue.”

“Serius?”

“Iya.”

“Hmmm, apa mungkin dia sebenernya memang masih sayang sama lo. Cuma dia sok jaim aja.”

“Nggak tau deh.”

“Yaudah ah, gausa dipikirin. Kita kekantin aja yuk.”

Kami pun berjalan menuju kantin. Namun sayang, disana aku melihat pemandangan yang membuatku hancur.
***

Kemarin adalah kenangan.
Bahkan satu detik yang lalupun, bisa kita sebut masa lalu.
Kita tidak akan pernah bisa membalikkan waktu. Saat bahagia, atau duka.
Semua itu selalu terlewatkan begitu saja. Kalau kita tidak ingin menyesal, maka nikmatilah semua proses itu dengan ikhlas.
Karena kita tidak tahu, apa yang akan terjadi selanjutnya, ketika semua proses itu telah menjadi hasil akhir..

27 Agustus 2009. 
Itu adalah hari terakhir aku bersama Vino. Kira-kira sudah hampir 6 bulan aku berpisah dengannya. Saat itu, aku memang tidak tahu jelas, alasan Vino memutuskan hubungannya denganku. Aku pikir, setelah hampir 1 tahun lebih berpacaran, Vino benar-benar menyayangiku. Namun ternyata tidak. Setelah putus, Vino berpacaran dengan adik kelas ku sendiri, Monik. Aku memang pernah mendengar gosip, bahwa Monik menyukai Vino. Dan aku pun pernah menyatakan kalau aku cemburu dengan gosip itu. Tapi Vino menenangkanku. Dia bilang bahwa dirinya tidak mungkin menyukai Monik, yang dianggapnya terlalu centil. Ternyata..

Saat itu, di kantin, aku melihat pemandangan yang membuatku hancur. Lagi! Vino dan Monik ternyata sedang asyik menikmati makanan dikantin. Aku melihat senyuman yang telah lama hilang dari hidupku. Senyuman yang dulu diberikannya hanya untukku. Sungguh, hatiku memanas melihat mereka berdua. Aku ingin sekali membalikkan langkahku, namun aku sadar mata Vino telah menangkap sosokku. Aku tidak ingin dia berpikir, bahwa aku cemburu. Tidak. Karena itu, aku memaksakan hatiku untuk melanjutkan perjalanan. Sepertinya, hari itu bukanlah hari baikku! Aku mendapat bangku yang kosong, tepat disamping dua pasangan yang tidak ingin aku lihat itu.

“Hai, mba Dinda.” Monik menyapaku dengan suara sinisnya. Aku tidak membalas. Hanya tersenyum hambar padanya. Saat itu, aku dan Vino saling menatap. Jujur, aku tak kuat melihat tatapan matanya. Mata Vino adalah salah satu alasanku, mengapa aku begitu menyukainya.

“Kok tadi telat?” Vino bertanya lembut padaku. Masih dengan tatapannya.

“Nggak apa-apa.” Aku berkata seadanya, dan dengan nada yang sangat datar.

“Mau nyoba jadi anak nakal?”

“Nggak! Ngapain gue jadi anak nakal? Nggak guna juga.” Suaraku terdengar ketus. Sungguh, aku sangat hilang kendali. Emosiku sangat jelas terlihat. Namun, Vino tetap santai menanggapiku. Dengan gayanya yang khas, seakan-akan tidak terjadi apa-apa.

“Yang, ntar siang jadi kan nganter aku ke rumah Nindi?” Monik kemudian bertanya dengan manja pada Vino.

“Oh, sorry, aku mau nganter nyokap ke bandara.”

“Kok gitu? Kan kamu kemaren udah janji.”

“Iya, tadi pagi nyokap dadakan ngasih taunya.”

Monik diam. Ngambek, mungkin. Aku tidak tahu, dan tidak mau tahu! Tapi yang aku tahu, Vino dulu tidak pernah secuek itu denganku. Kalaupun dia membatalkan janjinya, dia sangat meminta maaf padaku, seakan-akan telah melakukan kesalahan yang fatal. Tapi ini, Vino bahkan tidak merasa bersalah pada Monik. Aneh.
***

Vino pernah bercerita tentang impiannya padaku. Dia bilang, dia ingin sekali jadi seorang pengarang. Yang bisa menuangkan segala imajinasinya kedalam suatu bentuk tulisan. Dan dia berharap semua orang membaca bukunya. Vino ingin melanjutkan sekolahnya ke perguruan tinggi negeri di Jakarta. Dia ingin mengambil jurusan Sastra Indonesia. Namun, kata Vino, papanya ingin Vino menjadi seorang akuntan, seperti dirinya. Vino pernah sedikit bercerita tentang keluarganya, papanya yang keras, dan sangat susah berunding dengannya. Mamanya yang sabar, dan sayang padanya, serta adik lelaki satu-satunya, Dino, yang masih berusia 10 tahun. Vino sangat mencintai hidupnya, walaupun terkadang hidup tidak berpihak padanya. Mungkin karena itu, Vino terlihat misterius. Sosoknya yang dingin, cuek, dan terlihat tidak peduli dengan keadaan sekitarnya. Namun, karena itu aku jatuh cinta padanya. Apalagi, ketika aku mengenalnya. Aku seperti melihat diriku dalam dirinya. Mimpiku dan mimpinya sama. Menjadi seorang pengarang. Aku berpikir, pengarang bukan hanya dapat menciptakan dunia baru. Akan tetapi bisa bebas melakukan apa yang ingin dilakukannya. Tidak seperti orang-orang yang berada di kantor, dengan tumpukan kertas-kertas, dan pekerjaan yang dituntut cepat. Aku berpikir, Vino adalah soulmateku. Mungkin benar.

Satu minggu sebelum Ujian Akhir Nasional berlangsung..

“Nda..” Vino tiba-tiba menyapaku. Setelah hampir 9 bulan kami berpisah, itu pertama kalinya Vino menegurku disekolah.

“Kenapa?”

“Ntar siang mau kemana?”

“Mau pulang.”

“Aku anter boleh nggak?”

Vino berkata sangat lembut, sama seperti saat aku masih berpacaran dengannya.

“Nggak usah, makasih. Ntar aku dimarahin pacar kamu lagi.”

“Nggak kok. Aku udah putus. Mau ya aku anter.”

Aku diam menatap Vino. Aku merasa aneh. Tapi aku tidak tahu apa itu.

“Yaudah.”

Pulang sekolah, Vino sudah menungguku di depan kelas. Siang itu, aku seperti kembali kewaktu, saat aku pertama kali pulang bersamanya. Sebelum pulang kerumah, kami menyempatkan diri makan siang di tempat favoritku. Ternyata, Vino masih ingat makanan kesukaanku. Kami mulai bercerita panjang lebar. Tanpa sadar dengan kejadian kemarin-kemarin. Tanpa sadar bahwa kami sudah tidak berpacaran lagi. Tanpa sadar bahwa hari esok, akan segera hadir, memakan semua waktu yang kami lewati ini. Seperti itulah yang dilakukan Vino, beberapa hari menjelang UAN berlangsung. Selalu mengajakku pergi. Mengantarku kesekolah, dan menjemputku dirumah. Tanpa terasa, besok adalah hari pertama ujian berlangsung. Aku mulai sibuk dengan pelajaran-pelajaran yang akan diujikan. Dan aku sedikit lupa, bahwa saat itu Vino kembali hadir kedalam hidupku.

03 Mei 2010.
Jantungku berdegup kencang, karena aku akan menghadapi UAN. Saat aku lulus nanti, aku akan meninggalkan semua khayalanku di masa SMA ini, dan aku akan melanjutkan perjalanan hidupku. Yah, aku pikir hanya ujian yang membuatku grogi. Ternyata aku merasakan perasaan lain. Dan entah mengapa perasaan itu tak kunjung pergi. Sampai saat ujian berlangsung. Aku dan Vino memang tidak sekelas, dan bahkan kami beda jurusan. Aku adalah siswi kelas 3 IPS 1. Sedangkan Vino, siswa kelas 3 IPA 2. Harus aku akui, walaupun Vino nakal, cuek, dan kurang sopan, namun sebenarnya dia adalah anak yang cerdas. Mungkin karena faktor keturunan. Aku tidak tahu. Yang pasti, aku kagum dengan sosoknya.

Pukul 13.00
Aku sama sekali belum melihat sosok Vino disekolah. Aku bertanya pada Andra, teman sekelasnya. Namun, Andra pun tidak tahu tentang keberadaan Vino. Aku cemas. Aku berusaha menelpon hpnya, namun sayang, mailbox yang selalu menjawab panggilanku. Saat aku mulai bingung, tanpa aku duga, orang itu memberitahuku tentang Vino.
***

Aku pikir selama ini aku cukup mengenal Vino. Namun aku salah. Yang aku kenal, hanyalah seorang Vino palsu. Vino yang asli justru yang aku anggap tipuan. Cuek. Ternyata itu memang wajah asli Vino. Aku pikir, dalam sosok cueknya, Vino adalah orang yang hangat. Namun ternyata tidak. Kehangatan itu, hanya untuk diriku. Bukan mereka. Vino tidak pernah peduli dengan keadaan sekitarnya, bahkan dengan dirinya sendiri. Dia hanya peduli denganku. Karena dia sangat menyayangiku..

Sejak duduk dikelas 2 SMA, Vino telah mengidap Liver. Tidak ada seorangpun yang tahu. Kecuali, Monik. Ayah Monik seorang Dokter di rumah sakit swasta, di Jakarta. Dan ternyata, Vino adalah salah satu pasiennya. Monik mengetahui itu, ketika ia akan menemui Ayahnya di rumah sakit. Vino tidak ingin Monik menceritakan penyakitnya kesiapapun, khususnya aku. Karena itu, saat Monik menyuruhnya putus denganku, dan berpacaran dengannya, Vino menurutinya, dengan syarat Monik harus tutup mulut. Semakin hari, Vino semakin merasa penyakitnya bertambah parah. Akhirnya Vino meminta Monik untuk melepasnya. Ia ingin menghabiskan sisa waktunya dengan bebas. Dan dia ingin kebebasan itu saat bersamaku.

Pukul 19.03
Rumah Sakit Nusa Bangsa, disitulah Vino dirawat. Aku tidak tau apa aku masih punya kesempatan untuk bertemu dengannya. Aku hanya ingin melihatnya sekali saja, walaupun itu untuk terakhir kalinya. Aku ingin bilang, aku masih menyayanginya..

Pukul 19. 30
Saat aku sampai dirumah sakit, aku melihat tubuh Vino diatas bangsal terbaring kaku. Saat itu, aku pun merasa seluruh badanku kaku. Aku diam, sakit. Itu yang aku rasakan. Vino pergi, tanpa pamit padaku. Aku membencinya. Sungguh!

04 Mei 2010.
Seluruh penghuni Permata Bangsa berduka cita atas kehilangan sosok sahabat tercintanya. Terlebih aku. Aku tidak menyadari, beberapa hari yang lalu adalah hari terakhir aku bersamanya.

6 Juni 2010.
Pengumuman kelulusan tiba. Aku melihat namaku terdaftar dalam barisan kertas itu. kini aku akan berjalan menuju masa depan seorang diri. Dulu, Vino bilang bahwa dia akan terus bersamaku, sampai kapanpun. Sayang, janjinya tidak pernah ditepati.

Aku berjalan menuju makam Vino. Aku ingin dia bahagia, atas kelulusanku. Aku melihat seseorang disana. Monik. Dia menoleh padaku, ketika aku berdiri disampingnya. Aku tahu, Monik juga sangat kehilangan Vino, sebagai mantan pacarnya. Aku melihat matanya yang bengkak, mungkin dia telah menangis beberapa hari ini. Seperti aku. Yang belum bisa menerima kenyataan, bahwa Vino telah tiada.

“Maaf, gue dulu sempet misahin kalian.” Kata-kata itulah yang pertama kali terlontar dari bibir mungil Monik. “Lo tau, selama ini gue beneran sayang sama Vino.. gue pikir seiring berjalannya waktu, Vino juga bisa sayang beneran sama gue. Tapi ternyata..” Monik memulai ceritanya. Aku hanya diam. Berusaha mendengar semua cerita itu.

“Waktu dia sama gue, dia ngga pernah mau natap mata gue. Tapi kalo gue liat dia ngomong sama lo. Dia selalu beda. Pandangannya. Gue cemburu ! sampe waktu Vino mutusin buat ngedeketin lo lagi. Gue ngga rela. Tapi, waktu liat Vino koma, gue sadar, gue selama ini uda egois. Kalo aja, dari dulu lo tau, dia mungkin bakal pergi dengan banyak kenangan indah sama lo..”
Tanpa sadar, bulir-bulir air jatuh dari kelopak mataku.

“Ini, surat yang dibuat Vino. Dia nitip ini ke gue. Surat itu dibuat waktu gue masih pacaran sama dia. Bisa ngga lo bayangin, cowok lo bikin surat cinta buat cewek laen. Sakit banget kan?” Monik berkata sambil memberikan surat itu padaku. Aku memang tidak pernah bisa merasakan, betapa sakitnya hati Monik, tapi rasa sakit itu juga pernah aku rasakan, saat aku melihatnya berdua dengan Vino. Aku pikir, Monik adalah perempuan centil yang suka merebut pacar orang, seperti perempuan-perempuan yang sering aku lihat. Namun, ternyata aku salah. Monik bahkan lebih baik dariku. Dia rela melepaskan orang yang sangat disayanginya, demi melihatnya bahagia. Walaupun itu terlambat. Tapi, mungkin tidak akan pernah ada kata terlambat, untuk mendapatkan sebuah kebahagiaan..

Aku mulai membaca surat itu, ketika Monik pergi meninggalkanku sendiri.
                                                                                                                                                                                       
30 Desember 2009
Dear Dinda,
Hai nda. Kamu apa kabar sekarang?

Udah lulus atau masih mau ujian? Aku harap kamu nanti bisa ngerjain ujian, dan kamu bisa lulus dengan nilai baik. Itu kan yang kamu mau? Maaf, aku nggak bisa nepatin janji aku, buat selalu ada disamping kamu. Jujur, kalo aku boleh milih, aku mau terus ada disana, walaupun dengan sakit yang ngga bisa aku tahan, dibanding aku disini. Walaupun sakit itu ilang, tapi aku juga harus kehilangan kamu. Aku tau, kamu kecewa. Kamu marah, dan benci sama aku.

Karena aku udah ninggalin kamu, aku udah bohongin kamu. Aku juga nggak pamit sama kamu. Maaf. Tolong, jangan pernah lupain aku. Walaupun nanti, kamu udah punya orang laen, tapi kamu harus inget, aku disini selalu sayang kamu. Kamu soulmate aku! Aku bakal nunggu kamu disini. Sampe takdir balik ke kita lagi. Aku nggak bisa ngewujudin impian aku, buat jadi pengarang besar. Tapi aku mau, kamu yang ngewujudin itu. Kamu harus jadi pengarang hebat. Aku disini mau lihat semua cerita kamu. Aku yakin, kamu bisa jadi apapun yang kamu mau. Kalau kamu lulus nanti, kamu daftar di UI aja. Aku selalu dukung kamu. Mudah-mudahan kamu bisa masuk di universitas itu. Buat aku.

Aku ngga tau mesti nulis apalagi. Maaf ya, aku nggak bisa ngomong langsung sama kamu. Di surat ini juga aku cuma nulis sedikit. Aku bingung, nda. Aku nyesel udah nyakitin kamu kemarin. Itu semua aku lakuin, karena aku nggak mau kamu sedih. Aku tau kamu sayang aku. Tolong jaga rasa itu dihati kamu ya. Kalau nanti kamu uda punya pacar, atau suami, kasih aku tempat sedikiiiiit aja dihati kamu. Biar aku tetep hidup buat kamu.

Aku sayang kamu. Kemarin, hari ini, dan seterusnya. Sampai Tuhan manggil aku pun, aku akan terus sayang kamu. Karena aku yakin, Takdir aku itu kamu.
I never forget a moment about us. Because, you’re my destiny.
I love you, more than you know.
With love
Vino Vernando Erlangga
***

Bagiku, kemarin adalah hari sebuah kenangan manis yang tidak akan pernah aku lupakan. Karena kemarin, adalah takdirku bersamanya. Walaupun saat ini, takdir memisahkan kami. Tapi aku yakin, suatu saat nanti, takdir ku akan kembali..

Setiap manusia akan meninggalkan dunia yang indah ini.
Walaupun tidak tahu, kapan waktu itu datang. Jika kemarin aku takut dengan kematian, namun hari ini aku menunggu hari itu datang. Aku ingin bertemu dengannya. Mengisi hari-hariku bersamanya lagi.
Semoga, saat itu, akan datang secepatnya. Karena aku, sangat merindukannya.
***

23 Agustus 2010.
Saat ini aku tercatat sebagai mahasiswi di Universitas Indonesia, fakultas Sastra Indonesia. Aku yakin, Vino saat ini bangga, melihatku yang sedang berdiri di aula UI. Aku melakukan ini, karena aku mencintai hidupku, dan dia..
Tahun lalu, di tanggal ini, aku pertama kali berpacaran dengan Vino. Kalau saja dia ada disini, aku ingin mengajaknya ketempat, dimana dia akan semakin bangga kepadaku.

Pukul 14.08
Aku melangkahkan kaki menuju Toko Buku. Aku ingin membeli sebuah novel.
Aku melihat tulisan Best Seller di papan itu. terlihat sebuah novel, dengan sampul hitam dan putih, dan ada seorang cewek yang berdiri memegang buku.
Dia adalah hidupku.

Itulah judul novel pertama yang aku luncurkan. Alhamdulilah, semua berjalan sukses. Novel ku telah menjadi terbit. Aku ingin membeli novel pertamaku itu. Bukan untukku. Tapi untuknya..
Novel yang bercerita tentang cinta seseorang yang tulus. Dan membuat orang lain bertahan hidup. Vino pernah bilang..

“Kamu tau apa yang aku cari di hidup ini?”

“Impian.”

“Iya sih. Tapi bukan itu yang pertama.”

“Terus apa?”

“Kamu.”

“Aku?”

“Iya. Aku yakin, Tuhan udah nulisin ini semua di takdirku. Aku punya kamu.”
Aku hanya tertawa mendengar jawabannya. Kemudian Vino melanjutkan kalimatnya.

“Kamu tau nggak, kalaupun aku harus meninggal besok, aku ikhlas.”

“Kok gitu?”

“Karena aku udah ngedapetin hidup aku dari kamu.”

Aku menatapnya. Aku pikir itu hanyalah kegombalannya semata. Namun, saat ini aku bisa merasakan semua itu adalah benar. Aku mungkin menjadi alasannya, untuk tetap bertahan hidup. Dan dia, adalah alasanku untuk terus menjalani hidupku. Selamanya, aku akan terus menyayanginya. Karena dia adalah separuh dari hidupku.

-The End-

Faris

Some say he’s half man half fish, others say he’s more of a seventy/thirty split. Either way he’s a fishy bastard.

4 pesan:

Ndandrn mengatakan...

Aku nangis bacanya:'(

Unknown mengatakan...

Nice story. Ditinggal mati adalah sakit sesakit sakitnya sakit. Gak ada kesempatan untuk bersama, kecuali di akhirat nanti. Dan yang kedua adalah ditinggal nikah. *hening 7 hari* Yang tabah ya ndaa..
Oiya ada sedikit bagian yang menurutku janggal. Pada bagian "Tahun lalu, di tanggal ini, aku pertama kali berpacaran dengan Vino." Tahun lalu disini berarti tanggal 23 agustus 2009. Padahal tanggal 27 agustusnya kan mereka baru putus. Bukannya mereka jadian udah setaun yah? Apa akunya yang kurang teliti..
Hadeh macam kritikus aja nih aku. x) yamaap

Malinda Aspariani mengatakan...

so sad :'(

nice story :)

renny ika mengatakan...

sedih bgt ini ceritanya :(